Archive

Archive for the ‘Kontemplasi’ Category

Akhir dari Zaman Nuklir

November 9, 2010 Leave a comment

Diposting oleh: Admin

Sumbawa Besar – psbq SMA Negeri 1 Sumbawa Besar

Nastya, berasal dari Belarus berusia tiga tahun saat ia di vonis menderita kanker rahim dan paru. Berdasarkan dari dokter setempat mengatakan naiknya tingkat penderita kanker anak semenjak bencana Chernobyl.

Kita memerlukan sistem energi yang dapat memerangi perubahan iklim, yang berdasarkan pada energi terbarukan  dan efisiensi energi. Energi nuklir  hanya dapat menghasilkan sedikit energi dibanding energi terbarukan dan pembagiannya akan semakin menurun dimasa yang akan datang. Read more…

Ajaran Ki Hajar Dewantara mulai Ditinggalkan

October 7, 2010 Leave a comment

Diposting oleh: Admin

Sumbawa Besar – psbq SMAN 1 Sumbawa Besar

Metrotvnews.com, Yogyakarta: Meskipun tanggal lahir Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, tetapi ajarannya mulai ditinggalkan. Konsep pendidikan yang dikembangkannya di Tamansiswa pun kini terpinggirkan.

“Pendidikan ajaran Ki Hajar Dewantara tidak berorientasi pada kepentingan global. Pendidikan yang dikembangkan sekarang ini berbeda sekali orientasinya,” kata Ketua Majelis Luhur III Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Persatuan Tamansiswa Yogyakarta, Wuryadi.

Pendidikan yang diajarkan pelopor bagi kaum pribumi Indonesia di jaman penjajahan Belanda itu sifatnya mandiri, merdeka dan swadaya. Hal itu sangat cocok untuk dikembangkan untuk pendidikan nasional.

“Prinsip kemerdekaan dalam pengembangan pendidikan adalah counter atas pendidikan penjajahan. Selama pendidikan di Indonesia masih dibayang-bayangi penjajahan maka pemikiran Ki Hajar Dewantara masih relevan dikembangkan. Sekarang ini masalah pendidikan sangat tergantung dari siapa yang memegang kekuasaan,? katanya.

Dalam sejumlah hal, kebijakan nasional dalam hal pendidikan sangat berbeda dengan konsep pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara. Oleh karena itu, Persatuan Tamansiswa Yogyakarta sangat tegas menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

“Kita mengajak seluruh komponen pendidikan di Indonesia untuk mengkaji bersama ajaran Ki Hajar Dewantara untuk menyelesaikan problem pendidikan di tanah air. Sampai sekarang ini pemerintah tidak berminat karena kepentingannya sudah berbeda,” katanya.

Saat ini seluruh lembaga pendidikan yang bawah persatuan Tamansiswa masih konsisten mengembangkan konsep pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Meskipun mereka masih banyak kendala, terutama persoalan dana.

“Kita tidak punya modal. Kalau kita mandiri dari murid saja tidak bisa hidup. Pada prinsipnuya keberlangsungan pendidikan di Tamansiswa sangat terpengaruh dengan kebijakan nasional dan pendanaan.” tambahnya.(MI/*)

Sumber: http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newscat/nusantara/2010/05/02/16814/Ajaran-Ki-Hajar-Dewantara-mulai-Ditinggalkan

Nusantara / Minggu, 2 Mei 2010 22:27 WIB

Yang Terlupakan dari Ki Hajar Dewantara

October 6, 2010 1 comment

Diposting oleh: Admin

Sumbawa Besar – psbq SMAN 1 Sumbawa Besar

Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional semua orang Indonesia sudah tahu. Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional semua orang juga sudah tahu. Tapi adakah yang tahu ajaran Ki Hajar Dewantara?
Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Benar! Tapi apakah semua tahu maksud dari kalimat filosofis ini ?

Satu konsep dari Ki Hajar Dewantara yang juga terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding.

Mengapa 3 dinding? Jika kita mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka.

Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar.

Coba bandingkan dengan bentuk kelas kita dulu saat kecil. Empat dinding tembok, dengan jendela tinggi-tinggi, sehingga kita yang masih kecil tidak bisa melihat keluar. Lalu biasanya di dinding digantungi foto-foto pahlawan perang yang angker-angker, dari Pattimura, Teuku Umar, Diponegoro sampai Sultan Hasanudin. Jarang sekali ada yang memasang foto pujangga masa lalu seperti Buya Hamka, Ranggawarsito, Marah Rusli, dll. Paling-paling pujangga yang sempat diingat anak-anak SD adalah WR Supratman.

Dulu mungkin alasannya agar anak-anak tetap fokus pada guru di depan, matanya tidak ke mana-mana. Tapi sebenarnya sebuah bangunan berdiri, sadar atau tidak sadar, mencerminkan bagaimana cara berpikir si arsitek atau si pemilik. Dengan ruang kelas sekolah kita, seolah menegaskan bahwa sekolah adalah sekolah, dunia adalah dunia. Semuanya terpisah. Murid kewajibannya hanya belajar teori.

Akibatnya sampai sekarang…banyak anak pandai tapi tidak dapat berbuat apa-apa selepas lulus.

Sekarang, di beberapa sekolah favorit , terutama yang memakai kurikulum internasional mengakomodasi soal kesenjangan dunia kelas dengan dunia luar ini. Mereka ini biasanya mengajak murid-muridnya dengan acara-acara : mini trip, outbound, jalan-jalan, dan sebagainya.

Penulis yakin seratus persen, bila pengajar di sekolah internasional itu mengadaptasi soal jalan-jalan ke luar kelas ini berdasarkan kurikulum dari luar negeri, bukan dari konsep Ki Hajar. Artinya , kemajuan pendidikan di luar negeri pun sudah mempertemukan teori (di kelas) dengan realitas. Konsep yang digaungkan oleh Ki Hajar, hampir seabad yang lalu.

Ironis. Sekarang orang lebih getol atau lebih percaya belajar dari orang luar (negeri), namun lupa atau tidak mau belajar dari bangsa sendiri.

Konsep menyatunya kelas tempat belajar dengan realitas yang ditawarkan Ki Hajar, mungkin memang bukan orisinil dari beliau. Mungkin konsep ini sudah ada sebelumnya Ki Hajar hidup. Namun ketika Ki Hajar merumuskan konsep ini dengan istilah 3 dinding, menunjukkan betapa luasnya wawasan beliau dan mampu mengadaptasi konsep tersebut dalam budaya Indonesia.

Disarikan dari: http://belanegarari.wordpress.com/2009/12/29/yang-terlupakan-dari-ki-hajar-dewantara/

Prof . Suyanto Ph.D: “Urgensi Pendidikan Karakter”

October 5, 2010 Leave a comment

Diposting oleh: Admin

Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Dampak Pendidikan Karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.*

Sumber: http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/